Rabu, 11 Mei 2011

Rupanya Mahasiswa Lebih Ganas Daripada Rayap !!!

Mahasiswa adalah musuh terbesar bagi buku. Saya memperoleh kata-kata ini dari seorang pustakawan yang bekerja selama hampir 30 tahun di perpustakaan Universitas Jember : Tri Lestari Megaminingsih.

Saya rasa, kata ‘musuh’ layak digarisbawahi. ‘Musuh’ itu menghancurkan, memperlakukan ‘mereka yang berseberangan’ dengan rasa merendahkan. Mahasiswa yang menjadi musuh buku: mereka merobek lembar-lembar halaman buku, jurnal, mencoret-coretnya dengan spidol. Ada yang memilih untuk mencuri buku-buku, dan menjualnya ke pasar loak, atau mahasiswa lain yang memesan.

Mereka mencuri buku dan menjual buku anatomi seharga Rp 600 ribu dengan banderol hanya Rp 200 ribu. “Untuk beli makan dan rokok,” kata salah satu pegawai perpustakaan. Mereka merobek satu atau dua lembar halaman buku, mungkin karena malas untuk menyalin dengan mesin fotokopi.



Mahasiswa bisa lebih ganas daripada rayap, rupanya. Rayap menggerogoti buku yang telah berbau apak, tanpa bisa membedakannya dengan makanan yang lain. Rayap tidak menjual buku untuk menghisap sebatang rokok.

Saya tidak tahu, apakah ada keterkaitan antara kegagalan dalam studi dengan kebencian terhadap buku. Tapi, Bu Tri mengatakan, mereka yang mencuri buku adalah mahasiswa yang terancam drop out dari kampus. Jujur saja, saya agak ragu mahasiswa menjadi lebih ganas daripada rayap karena indeks prestasi kumulatif mereka jeblok.

Oknum pegawai di instansi pendidikan milik negara, yang bersekongkol untuk mengurangi jatah pengadaan buku bagi siswa sekolah, jelas orang-orang terpelajar. Namun mereka jelas melebihi rayap, karena rayap memakan buku tanpa menganggap pengadaan buku sebagai proyek belaka. Atau jangan-jangan saat kuliah, mereka pernah mencuri buku di perpustakaan? Ah, saya terlalu mengada-ada.

Asosiasi pedagang buku antik Amerika menyebut ada lima tipe maling buku: kleptomania yang tak tahan ingin mencuri, maling yang mencuri demi memperoleh keuntungan, pencuri yang mencuri karena marah, pencuri biasa, dan maling yang mencuri untuk digunakan sendiri.



Mencuri adalah mencuri, dan itu sebuah kejahatan. Namun mahasiswa yang merusak buku karena malas memfotokopi, atau mencurinya untuk modal beli rokok, atau birokrat yang mengorupsi uang pengadaan buku, tentu bukanlah sosok dengan motivasi seperti John Gilkey.

Gilkey adalah lulusan perguruan tinggi UC Santa Cruz, Amerika Serikat. Usianya sekitar 30 tahunan, saat menjelajah sejumlah perpustakaan dan pameran buku untuk mencuri. Dan, ia memilih buku-buku langka dengan harga mahal sebagai sasaran.

Gilkey sejak kecil menyukai buku. Ia mengoleksi komik Richie Rich, kisah bangsawan kecil kaya-raya itu. Richie memiliki segalanya. Namun, Gilkey dengan ayah seorang manajer transportasi dan ibu yang tak bekerja yang harus menghidupi delapan anak, tentu tak punya cukup duit untuk memuaskan dahaganya terhadap buku.

Dan, ini yang disebut Gilkey tak adil. Ia tak mau menggunakan uangnya untuk membeli buku-buku langka berharga ribuan dollar. “Saya punya gelar bidang ekonomi. Semakin banyak buku yang saya peroleh secara gratis, kalau perlu menjualnya, saya bisa dapat keuntungan seratus persen.”

“Aku senang dengan perasaan bisa memegang buku seharga lima atau sepuliuh ribu dollar. Dan aku menyukai kekaguman yang akan kuperoleh dari orang lain.” Jurnalis Allison Hoover Bartlett menuliskan kisah Gilkey ini dalam buku The Man Who Loved Books Too Much.

Gilkey tak sendiri. Seorang agen buku bernama Rosenbach menyatakan: ada orang-orang rela mempertaruhkan nasib mereka sendiri, berbohong, mencuri, demi mendapatkan sebuah buku. Namun mereka tak akan merusak buku. “Semua pencuri buku adalah pembohong sejati,” kata Ken Sanders, seorang bibliodick alias detektif buku.

Di perpustakaan Universitas Jember, sejumlah lorong di gedung perpustakaan ditutup, agar akses masuk menuju ruang koleksi terbatas dan terpantau. Saya sempat mendapati sebuah anak tangga yang diselimuti debu dan sarang laba-laba, karena sudah tak dilewati.

Sejauh ini, perpustakaan Unej melaporkan, angka pencurian minim. Namun agaknya perlu juga di dinding perpustakaan di mana pun, atau di ruang-ruang rapat tender proyek buku di instansi negara, dipampang besar-besar teks kutukan sebuah manuskrip dari biara San Pedro di Barcelona. Teks kutukan ini cukup ampuh digunakan oleh kawan saya untuk ‘mengancam’ para peminjam agar segera mengembalikan bukunya.

“Barang siapa yang mencuri buku ini dari pemiliknya, atau meminjam dan tidak mengembalikannya… semoga dia menderita kelumpuhan, dan seluruh anggota badannya hancur… Semoga cacing menggerogoti isi perutnya, dan ketika akhirnya dia menerima hukumannya yang terakhir, semoga api neraka membakar untuk selama-lamanya…”

Terlalu berlebihan untuk sebuah buku? Ya? Tidak? (kompasiana.com)
O.K sampai di sini dulu artikel tentang Rupanya Mahasiswa Lebih Ganas Daripada Rayap ???!!. Semoga artikel ini bermanfaat bagi anda.

1 komentar:

  1. saya sebagai pustakawan juga mengalami hal serupa, bagaimana solusinya utk menangani perilaku mahasiswa. terima kasih

    BalasHapus